Jumat, 06 Desember 2013

Aku Ingin Anak Lekakiku Menirumu


Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!” 

Suamiku menjawab:
“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin sepertiaku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan AlQuran di rumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:
“Oh ya. Ide bagus itu.”

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada  dirinya  seraya  berkata:  Ammat!  Maksudnya  ia  Ahmad.  Kami  berdua  sangat  bahagia dengan kehadirannya. Ahmad  tumbuh  jadi  anak  cerdas,  persis  seperti  papanya.  Pelajaran  matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung  papanya.  Entah  apa  yang  menyebabkan  papanya  begitu  berang,  mungkin menganggap  Ahmad  sudah  sekolah,  sudah  terlalu  besar  untuk  main  kuda-kudaan,  atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempasditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. 

Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi  suka  bertanya,  dan  ia  menjadi  amat  mudah  marah.  Aku  coba  mendekati  suamiku,  dan menyampaikan  alasanku.  Ia  sedang  menyelesaikan  papernya  dan  tak  mau  diganggu  oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:

“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. 
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”

Di  tanganku,  terajut  ruang  dan  waktu.  Terasa  ada  yang  pedih  di  hatiku.  Ada  yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad  anakku menyergah sambil berteriak menghentak, “Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!”

Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan  dirinya  di  kamar  mandi.  Aku,  wanita  tua,  ruang  dan  waktu  kurajut  dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.
Pecahlah  tangisku  serasa  sudah  berabad  aku  menyimpannya.  Aku  rebut  koran  di  tangan suamiku dan kukatakan padanya:

“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia  merangkak  di  punggungmu!  Dan  ketika  aku  minta  kau  perbaiki,  kau  bilang  kau  sibuk sekali.  Kau  dengar?  Kau  dengar  anakmu  tadi?  Dia  tidak  suka  dipipisi.  Dia  asing  dengan anaknya sendiri!”
Allahumma  Shali  ala  Muhammad.  Allahumma  Shalli  alaihi  wassalaam.  Aku  ingin anakku menirumu, wahai Nabi.

Engkau  membopong  cucu-cucumu  di  punggungmu,  engkau  bermain  berkejaran dengan  mereka  Engkau  bahkan  menengok  seorang  anak  yang  burung  peliharaannya  mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus  yang putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? 

Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, “Lakukanlah  ini,  permintaan  seorang  yang  akan  dijemput  ajal  yang  tak  mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.

Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. 
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah  ada perdamaian selama  anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang,  ucapan  kemesraan,  sentuhan  dan  belaian,  bukan  hanya  pelajaran  untuk  menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan. 

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.

Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua  laki-laki  dewasa  itu  kini  belajar  kembali.  Menggendong  bersama,  bergantian menggantikan  popoknya,  pura-pura  merancang  hari  depan  si  bayi  sambil  tertawa-tawa berdua,  membuka  kisah-kisah  lama  mereka  yang  penuh  kabut  rahasia,  dan  menemukan betapa  sesungguhnya  di  antara  keduanya  Allah  menitipkan  perasaan  saling  membutuhkan yang  tak  pernah  terungkapkan  dengan  kata,  atau  sentuhan.  Kini  tawa  mereka  memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku. Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar