Selama
ini ada salah pengertian soal fast food. Ternyata tidak semua fast food
buruk bagi tubuh kita. Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor
(IPB) Prof. Dr. Ir. Hardinsyah MS., pengertian fast food adalah segala
makanan dan minuman yang bisa kita makan dalam waktu cepat dan singkat.
“Fast food sendiri bisa kita bagi dalam tiga kategori. Pertama, yang dampaknya ditakuti karena banyak kandungan garam, lemak, dan gula. Kedua, netral-netral saja. Ketiga, kategori yang justru bagus dikonsumsi sebagai sumber energi dan kesehatan tubuh,” katanya.
Ia mencontohkan pecel atau gado-gado. Makanan tradisional tersebut termasuk jenis fast food, dan sangat bagus dikonsumsi karena mengandung sayur-sayuran.
“Ada restoran fast food, tapi kita bisa memilih beragam makanan apakah daging atau sayur-sayuran. Beda lagi dengan restoran fast food dimana kita bisa memilih menu, tapi pilihan menunya semua goreng-gorengan,” kata Hardinsyah yang menempuh pendidikan doktoralnya (PhD) di University of Queensland, Australia.
Jadi, lanjut dr Hardinsyah, tidak semua fast food itu jelek. Berbeda bila kita menyoroti soal junk food.
“Junk food memang sesuatu yang tidak berguna. Ini termasuk fast food kategori pertama, dengan cirinya banyak mengandung minyak, lemak (terutama lemak jenuh dan minyak trans), rasanya asin karena banyak garam, dan terlalu manis karena banyak gula,” katanya.
Dampak mengonsumsi makanan dengan lemak, garam, dan gula berlebih sangat tidak baik bagi tubuh. Prof. Hardinsyah menguraikan, makanan terlalu asin meningkatkan risiko tekanan darah tinggi. Makanan terlalu manis meningkatkan risiko kegemukan. Sedangkan makanan tinggi minyak trans dan lemak jenuh, selain menyebabkan kegemukan juga meningkatkan kolesterol jahat (LDL).
Namun bukan berarti junk food adalah satu-satunya faktor penyebab tingginya penderita hipertensi dan kolesterol. Sebab, lanjutnya, tekanan darah tinggi dan kolesterol bisa ditimbulkan dari banyak faktor.
“Stres juga bisa menyebabkan munculnya hipertensi. Saya tidak bisa mengatakan masyarakat menderita kolesterol dan hipertensi karena junk food, sebab konsumsi junk food masih terbatas pada masyarakat di perkotaan,” katanya.
Masyarakat di pedesaan masih jauh dari konsumsi junk food, tapi bisa saja mengalami hipertensi dan kolesterol. “Mungkin karena mereka mengonsumsi makanan asin berlebih seperti teri asin, ikan asin yang murah, dan akhirnya kena hipertensi. Jadi bukan karena makanannya, tapi karena zat yang ada di dalam makanan tadi berlebih,” katanya.
Sebenarnya, kata Prof. Hardinsyah, dampak buruk konsumsi junk food bisa dikendalikan melalui kebijakan industri untuk mengurangi penambahan zat gula, garam, dan lemak. Bisa juga melalui etika pengusaha yang membatasi atau mengurangi zat-zat tersebut. Cara lain, pengusaha bisa menyerahkan kepada konsumen untuk mencampur sendiri garam dengan makanan yang dibeli.
“Misalnya saja, pengusaha makanan bisa mengubah pola penyajian makanannya. Kentang goreng disajikan dengan satu sachet (bungkus kecil) garam. Terserah konsumen apakah mau mencampur kentang goreng dengan garam atau tidak?” ujarnya.
Di sinilah tugas pemerintah untuk mendidik masyarakat, salah satunya melalui pengetahuan gizi, sehingga konsumen bisa memagari diri dalam mengonsumsi makanan. Jika konsumen memahami dampak kelebihan zat garam, mungkin mereka hanya akan menggunakan separuh atau seperempat sachet garam saja.
“Yang terjadi selama ini, kalau kita beli kentang goreng di restoran waralaba, garam sudah dicampurkan. Konsumen tidak leluasa mengatur sendiri,” katanya.
Mestinya, lanjut dia, pemerintah memberikan petunjuk agar pengusaha makanan mau memisahkan kentang goreng dan garam dalam sachet. Bisa juga dibuat regulasi khusus untuk penjual makanan siap saji.
“Sejak 2009, Pemerintah New York telah mengatur soal itu dan bisa berjalan baik sampai sekarang,” katanya.
Regulasi tidak harus dibuat pemerintah pusat, tetapi cukup pemerintah daerah. “Cobalah dimulai dari Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta membuat regulasi untuk mengatur penjual makanan. Lalu diikuti pemerintah daerah di kota-kota besar dulu seperti Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan dan sebagainya,” jelasnya.
Tidak hanya soal petunjuk penyajian, tapi juga aturan menu yang disediakan.
Pada prinsipnya masyarakat boleh saja mengonsumsi makanan dengan tujuan kesenangan atau kegembiraan, asalkan mengimbanginya dengan konsumsi jus buah dan sayur-sayuran bisa berupa salad, karedok, pecel.
Oleh karena itu, kata Prof. Hardinsyah, perlu ada kebijakan di mana setiap waralaba yang menjual makanan goreng serta mengandung banyak minyak trans, juga menjual jus segar atau potongan buah segar. Jadi bukan menjual jus bahan kimia.
Hardinsyah berkeyakinan, aturan tersebut bisa dikenakan pada penjual makanan. “Kalau dibilang aturan waralabanya tidak memperbolehkan menjual jus buah segar atau potongan buah, itu bohong. Buktinya, di Amerika restoran fast food tidak menjual nasi tapi di Indonesia bisa,” tandasnya.
Pemerintah dan swasta juga harus memberikan kesadaran kepada masyarakat soal pentingnya makanan seimbang, sehingga ketika membeli ayam goreng mereka juga memesan potongan buah segar.
“Fast food sendiri bisa kita bagi dalam tiga kategori. Pertama, yang dampaknya ditakuti karena banyak kandungan garam, lemak, dan gula. Kedua, netral-netral saja. Ketiga, kategori yang justru bagus dikonsumsi sebagai sumber energi dan kesehatan tubuh,” katanya.
Ia mencontohkan pecel atau gado-gado. Makanan tradisional tersebut termasuk jenis fast food, dan sangat bagus dikonsumsi karena mengandung sayur-sayuran.
“Ada restoran fast food, tapi kita bisa memilih beragam makanan apakah daging atau sayur-sayuran. Beda lagi dengan restoran fast food dimana kita bisa memilih menu, tapi pilihan menunya semua goreng-gorengan,” kata Hardinsyah yang menempuh pendidikan doktoralnya (PhD) di University of Queensland, Australia.
Jadi, lanjut dr Hardinsyah, tidak semua fast food itu jelek. Berbeda bila kita menyoroti soal junk food.
“Junk food memang sesuatu yang tidak berguna. Ini termasuk fast food kategori pertama, dengan cirinya banyak mengandung minyak, lemak (terutama lemak jenuh dan minyak trans), rasanya asin karena banyak garam, dan terlalu manis karena banyak gula,” katanya.
Dampak mengonsumsi makanan dengan lemak, garam, dan gula berlebih sangat tidak baik bagi tubuh. Prof. Hardinsyah menguraikan, makanan terlalu asin meningkatkan risiko tekanan darah tinggi. Makanan terlalu manis meningkatkan risiko kegemukan. Sedangkan makanan tinggi minyak trans dan lemak jenuh, selain menyebabkan kegemukan juga meningkatkan kolesterol jahat (LDL).
Namun bukan berarti junk food adalah satu-satunya faktor penyebab tingginya penderita hipertensi dan kolesterol. Sebab, lanjutnya, tekanan darah tinggi dan kolesterol bisa ditimbulkan dari banyak faktor.
“Stres juga bisa menyebabkan munculnya hipertensi. Saya tidak bisa mengatakan masyarakat menderita kolesterol dan hipertensi karena junk food, sebab konsumsi junk food masih terbatas pada masyarakat di perkotaan,” katanya.
Masyarakat di pedesaan masih jauh dari konsumsi junk food, tapi bisa saja mengalami hipertensi dan kolesterol. “Mungkin karena mereka mengonsumsi makanan asin berlebih seperti teri asin, ikan asin yang murah, dan akhirnya kena hipertensi. Jadi bukan karena makanannya, tapi karena zat yang ada di dalam makanan tadi berlebih,” katanya.
Sebenarnya, kata Prof. Hardinsyah, dampak buruk konsumsi junk food bisa dikendalikan melalui kebijakan industri untuk mengurangi penambahan zat gula, garam, dan lemak. Bisa juga melalui etika pengusaha yang membatasi atau mengurangi zat-zat tersebut. Cara lain, pengusaha bisa menyerahkan kepada konsumen untuk mencampur sendiri garam dengan makanan yang dibeli.
“Misalnya saja, pengusaha makanan bisa mengubah pola penyajian makanannya. Kentang goreng disajikan dengan satu sachet (bungkus kecil) garam. Terserah konsumen apakah mau mencampur kentang goreng dengan garam atau tidak?” ujarnya.
Di sinilah tugas pemerintah untuk mendidik masyarakat, salah satunya melalui pengetahuan gizi, sehingga konsumen bisa memagari diri dalam mengonsumsi makanan. Jika konsumen memahami dampak kelebihan zat garam, mungkin mereka hanya akan menggunakan separuh atau seperempat sachet garam saja.
“Yang terjadi selama ini, kalau kita beli kentang goreng di restoran waralaba, garam sudah dicampurkan. Konsumen tidak leluasa mengatur sendiri,” katanya.
Mestinya, lanjut dia, pemerintah memberikan petunjuk agar pengusaha makanan mau memisahkan kentang goreng dan garam dalam sachet. Bisa juga dibuat regulasi khusus untuk penjual makanan siap saji.
“Sejak 2009, Pemerintah New York telah mengatur soal itu dan bisa berjalan baik sampai sekarang,” katanya.
Regulasi tidak harus dibuat pemerintah pusat, tetapi cukup pemerintah daerah. “Cobalah dimulai dari Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta membuat regulasi untuk mengatur penjual makanan. Lalu diikuti pemerintah daerah di kota-kota besar dulu seperti Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan dan sebagainya,” jelasnya.
Tidak hanya soal petunjuk penyajian, tapi juga aturan menu yang disediakan.
Pada prinsipnya masyarakat boleh saja mengonsumsi makanan dengan tujuan kesenangan atau kegembiraan, asalkan mengimbanginya dengan konsumsi jus buah dan sayur-sayuran bisa berupa salad, karedok, pecel.
Oleh karena itu, kata Prof. Hardinsyah, perlu ada kebijakan di mana setiap waralaba yang menjual makanan goreng serta mengandung banyak minyak trans, juga menjual jus segar atau potongan buah segar. Jadi bukan menjual jus bahan kimia.
Hardinsyah berkeyakinan, aturan tersebut bisa dikenakan pada penjual makanan. “Kalau dibilang aturan waralabanya tidak memperbolehkan menjual jus buah segar atau potongan buah, itu bohong. Buktinya, di Amerika restoran fast food tidak menjual nasi tapi di Indonesia bisa,” tandasnya.
Pemerintah dan swasta juga harus memberikan kesadaran kepada masyarakat soal pentingnya makanan seimbang, sehingga ketika membeli ayam goreng mereka juga memesan potongan buah segar.
0 komentar:
Posting Komentar