Tubuh kita memiliki hipotalamus anterior di otak yang
bertugas mengatur agar suhu tubuh stabil (termostat) yaitu berkisar 37 +/- 1
derajat selsius.
Suhu di daerah dubur (temperatur rektal) paling
mendekati suhu tubuh sebenarnya ( core body temperature ). Suhu di
daerah mulut atau ketiak (aksila) sekitar 0,5 sampai 0,8 derajat lebih rendah
dari suhu rektal, dengan catatan setelah pengukuran selama minimal 1 menit.
Tidak dianjurkan mengukur (“menebak”) suhu tubuh berdasarkan perabaan tangan
(tanpa mempergunakan termometer)
Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi
mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor
non infeksi seperti kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya. Ketika
virus atau bakteri masuk ke dalam tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau
leukosit melepaskan “zat penyebab demam (pirogen endogen)” yang selanjutnya
memicu produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior, yang kemudian
meningkatkan nilai-ambang temperatur dan terjadilah demam. Selama demam,
hipotalamus cermat mengendalikan kenaikan suhu sehingga suhu tubuh jarang sekali
melebihi 41 derajat selsius.
DAMPAK DEMAM
Beberapa bukti penelitian ‘in-vitro' (tidak dilakukan
langsung terhadap tubuh manusia) menunjukkan fungsi pertahanan tubuh manusia
bekerja baik pada temperatur demam, dibandingkan suhu normal. IL-1 dan pirogen
endogen lainnya akan “mengundang” lebih banyak leukosit dan meningkatkan
aktivitas mereka dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Demam juga memicu
pertambahan jumlah leukosit serta meningkatkan produksi/fungsi interferon (zat
yang membantu leukosit memerangi mikroorganisme).
Pertama, kemungkinan dehidrasi (kekurangan cairan
tubuh). Ketika mengalami demam, terjadi peningkatan penguapan cairan tubuh
sehingga anak bisa kekurangan cairan.
Kedua, kekurangan oksigen. Saat demam, anak dengan
penyakit paru-paru atau penyakit jantung-pembuluh darah bisa mengalami
kekurangan oksigen sehingga penyakit paru-parau atau kelainan jantungnya infeksi
saluran napas akut (Isakan semakin berat.
Ketiga, demam di atas 42 derajat selsius bisa
menyebabkan kerusakan neurologis (saraf), meskipun sangat jarang terjadi. Tidak
ada bukti penelitian yang menunjukkan terjadinya kerusakan neurologis bila demam
di bawah 42 derajat selsius.
Terakhir, anak di bawah usia 5 tahun (balita),
terutama pada umur di antara 6 bulan dan 3 tahun, berada dalam risiko kejang
demam ( febrile convulsions ), khususnya pada temperatur rektal di atas
40 derajat selsius. Kejang demam biasanya hilang dengan sendirinya, dan tidak
menyebabkan gangguan neurologis (kerusakan saraf). Lihat guideline
kejang demam.
Demam seringkali disertai dengan gejala lain seperti
sakit kepala, nafsu makan menurun (anoreksia), lemas, dan nyeri otot. Sebagian
besar di antaranya berhubungan dengan zat penyebab demam tadi.
Demam pada bayi dan anak umumnya disebabkan oleh
infeksi virus. Pada demam yang disertai sariawan, ruam cacar, atau ruam lainnya
yang mudah dikenali, virus sebagai penyebab demam dapat segera disimpulkan tanpa
membutuhkan pemeriksaan khusus. Demam ringan juga dapat ditemukan pada anak
dengan batuk pilek ( common colds ), dengan rinovirus salah satu
penyebab terseringnya. Penyebab lain demam pada anak adalah enteritis
(peradangan saluran cerna) yang disebabkan terutama oleh rotavirus.
Penyakit yang disebabkan virus adalah
self-limiting disease (akan berakhir dan sembuh dengan sendirinya).
Di antara demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri
pada anak, salah satu yang paling sering ditemukan adalah infeksi saluran kemih
(ISK). Umumnya tidak disertai dengan gejala lainnya. Risiko paling besar
dimiliki bayi yang berusia di bawah 6 bulan.
Infeksi bakteri yang lebih serius seperti pneumonia
atau meningitis (infeksi selaput otak) juga dapat menimbulkan gejala demam.
Namun demikian persentasenya tidaklah besar. Dari bayi > 3 bulan dan anak 1-3
tahun dengan demam > 39C, hanya 2% (1–3.6%) saja yang bakterinya sudah
memasuki peredaran darah (bakteremia).
Pada golongan usia ini, program imunisasi HiB
berhasil menurunkan risiko meningitis bakterial secara sangat signifikan. S.
pneumoniae (penyebab utama infeksi bakteri yang cukup serius) hanya ditemukan
pada < 2 % populasi. Dan sebagian besar anak dalam golongan usia ini dapat
mengatasi S. pneumoniae tanpa antibiotika. Hanya 10 %-nya yang berlanjut menjadi
pneumonia yang lebih berat dan 3-6 % menjadi meningitis.
Usia yang menuntut kewaspadaan tinggi orangtua dan
dokter adalah usia di bawah 3 bulan. Bayi harus menjalani pemeriksaan yang lebih
teliti karena 10 %-nya dapat mengalami infeksi bakteri yang serius, dan salah
satunya adalah meningitis. Untuk memudahkan penilaian risiko tersebut, Rochester
menetapkan beberapa poin untuk mengidentifikasi risiko rendah infeksi bakteri
serius pada bayi yang demam. Kriteria Rochester ini adalah:
- Bayi tampak baik-baik saja
- Bayi sebelumnya sehat :
- Lahir cukup bulan (= 37 minggu kehamilan)
- Tidak ada riwayat pengobatan untuk hiperbilirubinemia (kuning) tanpa sebab yang jelas
- Tidak ada riwayat pengobatan dengan antibiotika
- Tidak ada riwayat rawat inap
- Tidak ada penyakit kronis atau penyakit lain yang mendasari demam
- Dipulangkan dari tempat bersalin bersama / sebelum ibu
- Tidak ada tanda infeksi kulit, jaringan lunak, tulang, sendi, atau telinga
- Nilai laboratorium sebagai berikut :
- Leukosit 5000 – 15000/µl
- Hitung jenis neutrofil batang 1500/µl
- =10 leukosit/LPB di urin
- = 5 eritrosit (sel darah merah)/LPB pada feses bayi dengan diare
Walaupun diketahui bahwa sebagian besar penyebab
demam adalah infeksi virus, namun data menunjukkan bahwa justru sebagian besar
tenaga medis mendiagnosisnya sebagai infeksi bakteri. Dalam satu penelitian di
Amerika Serikat, persentase ini mencapai 56 %. Dan pada penelitian yang sama
masih ditemukan adanya pemberian antibiotik pada demam yang belum jelas
diidentifikasi penyebabnya (virus atau bakteri).
Sebuah penelitian melaporkan relawan dewasa yang
secara sukarela diinfeksi virus Rhinovirus dan diterapi dengan aspirin dosis
terapetik (dosis yang lazim digunakan dalam pengobatan) , lebih cenderung
menjadi sakit dibandingkan yang mendapatkan plasebo. Hasil serupa (meski tidak
signifikan), dilaporkan dengan penggunaan aspirin dan parasetamol. Lebih lanjut,
penggunaan kedua obat ini, ditambah ibuprofen, meningkatkan penyumbatan di
hidung (obstruksi nasal) dan menekan respon antibodi Penelitian-penelitian lain
belum menunjang temuan ini.
Pada sebuah survei terhadap 147 anak dengan infeksi
bakteri, tidak ada perbedaan lama rawat inap pada mereka yang diberi dua atau
lebih obat antipiretik, dibandingkan yang menerima satu, atau sama sekali tidak
diberi antipiretik.
Sebuah penelitian randomized terhadap
anak-anak demam yang diduga akibat virus, menunjukkan parasetamol tidak
mengurangi lamanya demam dan tidak menghilangkan gejala-gejala yang terkait.
Namun demikian, parasetamol membuat anak sedikit lebih aktif dan lebih bugar.
Mekanisme Kerja
Parasetamol, aspirin, dan obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) lainnya adalah antipiretik yang efektif. Bekerja dengan cara
menghambat produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior (yang meningkat
sebagai respon adanya pirogen endogen).
Parasetamol adalah obat pilihan pada anak-anak.
Dosisnya sebesar 10-15 mg/kg/kali.
Parasetamol dikonjugasikan di hati menjadi turunan
sulfat dan glukoronida, tetapi ada sebagian kecil dimetabolisme membentuk
intermediet aril yang hepatotoksik (menjadi racun untuk hati) jika jumlah zat
hepatotoksik ini melebihi kapasitas hati untuk memetabolismenya dengan glutation
atau sulfidril lainnya (lebih dari 150 mg/kg). Maka sebaiknya tablet 500 mg
tidak diberikan pada anak-anak (misalnya pemberian tiga kali tablet 500 mg dapat
membahayakan bayi dengan berat badan di bawah 10 kg). Kemasan berupa sirup 60 ml
lebih aman.
Merupakan antipiretik yang efektif namun
penggunaannya pada anak dapat menimbulkan efek samping yang serius. Aspirin
bersifat iritatif terhadap lambung sehingga meningkatkan risiko ulkus (luka)
lambung, perdarahan, hingga perforasi (kebocoran akibat terbentuknya lubang di
dinding lambung). Aspirin juga dapat menghambat aktivitas trombosit (berfungsi
dalam pembekuan darah) sehingga dapat memicu risiko perdarahan). Pemberian
aspirin pada anak dengan infeksi virus terbukti meningkatkan risiko Sindroma
Reye , sebuah penyakit yang jarang (insidensinya sampai tahun 1980 sebesar 1-2
per 100 ribu anak per tahun), yang ditandai dengan kerusakan hati dan ginjal.
Oleh karena itu, tidak dianjurkan untuk anak berusia < 16 tahun.
Jenis OAINS yang paling sering digunakan pada anak
adalah ibuprofen. Dosis sebesar 5-10 mg/kg/kali mempunyai efektifitas
antipiretik yang setara dengan aspirin atau parasetamol. Sama halnya dengan
aspirin dan OAINS lainnya, ibuprofen bisa menyebabkan ulkus lambung, perdarahan,
dan perforasi, meskipun komplikasi ini jarang pada anak-anak. Ibuprofen juga
tidak direkomendasikan untuk anak demam yang mengalami diare dengan atau tanpa
muntah.
Jenis Lainnya
Turunan pirazolon seperti fenilbutazon dan dipiron,
efektif sebagai antipiretik, tetapi jauh lebih toksik (membahayakan).
Tingkatkan asupan cairan (ASI, susu, air, kuah sup,
atau jus buah). Minum banyak juga mampu menjadi ekspektoran (pelega saluran
napas) dengan mengurangi produksi lendir di saluran napas. Jarang terjadi
dehidrasi berat tanpa adanya diare dan muntah terus-menerus. . Hindari makanan
berlemak atau yang sulit dicerna karena demam menurunkan aktivitas lambung.
Kenakan pakaian tipis dalam ruangan yang baik
ventilasi udaranya. Anak tidak harus terus berbaring di tempat tidur)tetapi
dijaga agar tidak melakukan aktivitas berlebihan.
Mengompres atau anak dengan air hangat dapat
dilakukan jika anak rewel merasa sangat tidak nyaman, umumnya pada suhu sekitar
40 selsius. Mengompres dapat dilakukan dengan meletakkan anak di bak mandi yang
sudah diisi air hangat. Lalu basuh badan, lengan, dan kaki anak dengan air
hangat tersebut.
Umumnya mengompres anak akan menurunkan demamnya
dalam 30-45 menit. Namun jika anak merasa semakin tidak nyaman dengan berendam,
jangan lakukan hal ini.
Upaya ‘mendinginkan' badan anak dengan melepaskan
pakaiannya, memandikan atau membasuhnya dengan air dingin, atau mengompresnya
dengan alkohol. Jika nilai-ambang hipotalamus sudah direndahkan terlebih dahulu
dengan obat, melepaskan pakaian anak atau mengompresnya dengan air dingin justru
akan membuatnya menggigil (dan tidak nyaman), sebagai upaya tubuh menjaga
temperatur pusat berada pada nilai-ambang yang telah disesuaikan. Selain itu
alkohol dapat pula diserap melalui kulit masuk ke dalam peredaran darah, dan
adanya risiko toksisitas.
Pandangan masyarakat akan demam terus berubah. Kini
demam dianggap sebagai respon ‘sehat' terhadap penyakit dan dianggap wajar.
Pengobatan secara ‘agresif' harus dibuktikan oleh bukti-bukti ilmiah. Sehingga
terapi yang rasional adalah menenangkan pasien dan tenaga kesehatan, serta
meyakinkan bahwa merekalah yang ‘mengendalikan' penyakit anaknya, bukan
‘dikendalikan' penyakit.
Upaya menangani demamnya bukanlah prioritas utama.
Tindakan pertama adalah mengidentifikasi adakah infeksi bakteri (pneumonia,
otitis media, faringitis streptokokus, meningitis, atau sepsis), dan kalau perlu
merujuk ke RS untuk tindakan selanjutnya.
Baik orangtua maupun tenaga kesehatan seharusnya
tidak otomatis memberikan obat pereda demam pada semua anak demam. “Tangani
anaknya, bukan termometernya”. Usaha meredakan demam lebih ditujukan mengatasi
ketidaknyamanan anak (jika memang signifikan), dan biasanya diperoleh melalui
pemberian parasetamol secara oral pada anak yang hanya mengalami demam tinggi
saja. Hal ini akan menciptakan layanan kesehatan (dan keluarga) yang efisien
semata-mata ditujukan bagi kebaikan anak, menekankan pada upaya mencari
penyebab serta melalui usaha mengurangi polifarmasi yang tidak perlu,
serta memprioritaskan pengobatan esensial saja.
( Disusun oleh dr Arifianto dan dr Nurul
Itqiyah Hariadi )
Catatan: Panduan / guideline ini
dapat senantiasa mengalami perubahan seiring dengan ditemukannya perkembangan
ilmiah terkini, dan adanya guideline terbaru yang dapat
diadaptasi.
0 komentar:
Posting Komentar