Minggu, 03 Juni 2012

CARA JITU PICU PRESTASI ANAK


Ingin putra/putri Anda berprstasi di sekolah ? Ya, tentu boleh saja Anda memacu anak agar selau berprestasi. Tapi, jangan sampai prestasi itu adalah obsesi Anda, yang dulunya tidak terpenuhi. Juga, jangan sampai anak terpaksa melakukannya karena hukuman yang acap Anda ancamkan. Karena itu, Anda wajib memahami kiatnya, yang sederhana.


Memacu anak berprestasi wajib hukumnya. Tapi ingat, perlu kiat yang jelas, agar prestasi itu sendiri bukan obsesi Anda, tapi menjadi kebutuhan anak. Caranya? Jangan pernah ancam dia dengan hukuman, karena itu akan tak menyelesaikan masalah. Sebaiknya, ajari dia dengan cinta. Atau, ikuti tips kami berikut ini

Cinta kasih.Ini menjadi kunci awal ketika Anda menuntut anak. Harus ada kasih dan penerimaan penuh. Ini penting, sehingga sebelum tuntutan diberikan, anak perlu mengetahui dan merasakan cinta kasih Anda yang menerimanya secara total. Maksudnya, anak selayaknyalah memiliki keyakinan bahwa ia tetap Anda kasihi, meski ia belum tentu mampu meraih keinginan Anda. Tanpa keraguan anak dapat berkata bahwa cinta kasih Anda terhadapnya tidak tergantung apakah ia mendapat nilai 9 atau 5. Sebelum menerima tuntutan, anak perlu menyadari bahwa Anda telah menerimanya apa adanya atas dasar satu alasan, cinta kasih.

Tuntutan yang didahului kasih dan penerimaan akan dapat memotivasi anak berprestasi. Tuntutan mendorongnya bekerja lebih keras dan ia akan dapat melakukannya dengan tenang karena ia tahu bahwa ia dikasihi. Anak sadar bahwa keberhasilannya mencapai tuntutan itu akan menyenangkan hati orang tua, bukan untuk mendapatkan kasih orang tua.

Arah yang jelas. Arahan Anda harus jelas dan spesifik. Tidak jarang Anda melakukan kesalahan umum. Misalnya, menuntut anak menjadi lebih baik, lebih rajin, lebih pintar, berprestasi lebih tinggi, dan lain sebagainya. Tuntutan dengan target yang terlalu luas justrtu membuat anak hilang arah dalam mengejar sasarannya. Ia perlu mengerti apa yang Anda tuntut. Sehingga ia tahu yang harus dilakukannya.

Anak, sebagaimana dikutip eunika.com akan lebih dapat memahami tuntutan orang tua apabila tuntutan itu dijabarkan sespesifik. Daripada berkata, lebih rajin dan lebih pintar, mungkin lebih baik Anda memintanya menambah jam belajar atau menyelesaikan tugas sekolah, sebelum bermain. Ketimbang menuntutnya berprestasi lebih tinggi, Anda bisa menyebut pelajaran tertentu yang mendapat nilai rendah dan memintanya menghabiskan waktu belajar lebih banyak untuk bidang tersebut. Anda bisa menargetkan supaya pada ulangan berikutnya ia mencoba meraih nilai 7. Tentunya, Anda hindari nada paksa.

Realistis. Anda harus realistis dengan kemampuan anak. Untuk memacu prestasi anak, tuntutan yang diberikan seyogyanya sedikit diatas kemampuan anak. Tuntutan yang dibawah atau pas dengan kemampuan anak tidak akan memacunya karena ia tidak perlu berusaha keras memajukan diri. Sebaliknya, tuntutan yang jauh melampaui kemampuan anak akan mengecilkan semangat. Anak mesti melihat bahwa tuntutan yang diberikan kepadanya masih dalam batas kemampuan. Jika tidak ia justru ngambek. Jadi yang penting ialah memahami kemampuan dan minatnya. Tuntutanyang efektif adalah tuntutan yang realistis; tuntutan yang tidak realistis justru akan menciptakan frustasi pada diri anak.

Jangan ambisius. Anda tak perlu ambisius. Sikap itu justru akan melelahkan Anda dan membebani anak. Ada dua kesalahan yang umum dilakukan oleh orang tua, termasuk Anda. Pertama menuntut anak menjadi seperti dirinya, dan kedua, menuntut anak menjadi pelengkap kekurangannya. Kesalahan pertama acap diperbuat oleh orang tua yang memiliki kemampuan tertentu. Misalnya saja Anda pintar bermain gitar, maka cenderung menuntut anak bisa bermain gitar. Masalahnya adalah, tidak selalu anak mewarisi bakat orang tua dan tidak semua anak mempunyai minat sama dengan orang tuanya. Kalaupun anak menyukai gitar, itupun tidak berarti bahwa ia akan dapat bermain sebaik Anda.

Kesalahan kedua acap terjadi pada orang tua yang merasa diri kurang atau ada cacatnya. Anak akhirnya menjadi penyambung kekurangan agar keinginannya yang belum tercapai bisa diwujudkan oleh anak. Misalnya jika orang tua berangan-angan dan gagal menjadi dokter, ia pun akan memaksa anak menjadi dokter. Masalahnya adalah belum tentu anak berminat. Maka, hindari pemaksaan, ya? (CN02)

Empat tips di atas tidak akan berarti apa-apa, jika Anda masih merasa berhak menentukan kapan si anak sukses dan gagal. Artinya, kedua hal itu kadang bersifat alamiah. Dan akan jadi pelajaran yang baik jika mereka pun merasakan gagal itu, untuk tahu nikmatnya sukses. Karena itu:

Beri ruang kegagalan. Tak ada manusia yang sempurna. Acap kali, kegagalan selalu menjadi teman setia. Anda harus paham persoalan ini. Jadi sudah selayaknya jika Anda memberi ruangan untuk gagal. Memang, pada dasarnya orang sulit menoleransi kegagalan, karena kegagalan dengan mudah dapat membangkitkan perasaan-perasaan masa lalu yang pahit. Kegagalan cenderung mengingatkan Anda akan kekurangan-kekurangan yang telah Anda coba perbaiki dengan susah payah. Kegagalan anak sering kali mempengaruhi penghargaan diri dan konsep diri Anda. Kegagalan anak seakan mencoreng konsep dan penghargaan diri yang sebelumnya Anda miliki. Itulah sebabnya tidak mudah bagi Anda menerima kegagalan anak. Anda boleh kecewa. Tapi beri dia kesempatan. Anda mesti berlapang dada.

Anak mesti diberi kemungkinan untuk gagal dalam upayanya memenuhi tuntutan Anda. Kerelaaan Anda menerima kegagalan anak akan membuatnya rileks. Sikap rileks ini justru akan membuatnya lebih kreatif. Anak akan dapat mengupayakan prestasinya secara lebih tenang karena tidak dikejar-kejar oleh rasa takut gagal.

Bebaskan imajinasi. Imajinasi adalah dunia tanpa batas. Karena itu, membatasi imajinasi anak, apalagi merampasnya, akan mengganggu kreativitas anak. Kenyataan bahwa imajinasi anak berbeda dengan orang dewasa, menunjukkan betapa penting Anda membiarkan anak membangun imajinasi.

Mencetak anak cerdas dan kreatif, memang ibarat melakukan perbuatan yang bertentangan. Aktivitas "mencetak" mengandung makna peran aktif Anda dalam mengarahkan dan membentuk segala perilaku anak. Padahal, menjadikan anak kreatif menuntut kesempatan untuk memilih dan berekspresi secara bebas. Pendeknya, disiplin dan kebebasan harus dikelola secara elastis. Anda memang harus lentur mengarahkan anak Anda.

Terpenting usaha. Anda perlu menyadari bahwa hasil akhir bukan tujuan terpenting. Anak pun perlu menyadari bahwa kegagalan adalah bagian dan konsekuensi hidup. Jangan lupa, menerima dan mengoreksi diri merupakan sat langkah mencapai asa. Tak perlu menyangkali atau menyesali diri tanpa kesudahan. Anak harus mengetahui bahwa yang terpenting adalah usahanya, bukan hasil akhir. Selama ia telah berusaha sebaik mungkin, tanpa ada unsur paksaan, itu merupakan sesuatu positif. Yang jelas, Anda harus mendukungnya, jangan mencemooh.

Prestasi bukan ukuran. Rangking tinggi di sekolah bukan menjadi ukuran keberhasilan seorang anak. Suyanto PhD dalam buku "Mencetak Anak Cerdas" menyebutkan bahwa pendidikan sekolah masih mengabaikan otak kanan. Hanya otak kiri yang dipacu. Sehingga, kreatifitas siswa sekolah menjadi sangat rendah. karena itu, Anda tak perlu memaksakan anak Anda untuk berprestasi di sekolah kalau memang dia kurang mampu. Karena pandai di sekolah belum tentu sukses dalam hidup.

Kegiatan yang bersifat mengasuh mental anak, memang bisa lebih dikedepankan. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa di samping IQ, keberhasilan seseorang juga ditentukan oleh kecerdasan mental atau emosional (EQ). Hasil penelitian Dr Lewis M Terman menunjukkan, kecerdasan bukanlah satu-satunya ukuran untuk mencapai suatu prestasi yang luar biasa. Dari 200 sampel yang memiliki rata-rata skor IQ antara 150-157, ternyata 50 persen berhasil karena mempunyai motivasi yang lebih kuat.

Daniel Goleman bahkan secara radikal membuktikan bahwa 80 persen keberhasilan hidup seseorang ditentukan oleh EQ. Dan menurut Dr Seto Mulyadi, kecerdasan emosional dapat dilatihkan pada anak-anak sejak dini. Misalnya, menciptakan suasana kedamaian penuh kasih sayang dalam keluarga, memberikan contoh nyata berupa sikap saling menghargai, ketekunan menghadapi kesulitan, serta sikap disiplin.

0 komentar:

Posting Komentar