Muslimah, lingkungan memiliki pengaruh besar bagi jiwa dan tingkah laku seseorang. Seseorang dapat tumbuh menjadi baik (shalih/shalehah) bisa jadi karena lingkungannya juga baik dan akan menjadi buruk karena lingkungannnya yang buruk. Walaupun hal tersebut bukanlah penyebab yang mutlak bagi iman dan kepribadian seseorang. Tapi tak disangkal, lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan pribadi seseorang. Maka, alangkah indahnya jika dapat tinggal di lingkungan yang Islami. Berikut ini adalah kisah seorang Muslimah, ia bernama Halla Salem, yang awalnya tinggal di Amerika Serikat bersama keluarganya, kemudian setelah ia dewasa dan menikah ia pindah ke Mesir, karena ingin menjalani kehidupan yang lebih baik dan menjaga anak-anaknya dari buruknya lingkungan di Amerika Serikat yang penuh dengan fitnah. Berikut terjemahan kisah singkat pengalaman Halla Salem:
***
“Ibu, seorang laki-laki di kelasku mengadakan pesta, bolehkah aku pergi?”. Pada usia 12 tahun, ini adalah pertama kalinya sisi Amerika saya bentrok dengan sisi Muslim saya. Ibu saya sangat kecewa dengan pertanyaa saya tersebut. Bagaimana saya dapat berpikir meminta sesuatu seperti ini? Tidakkan saya mengerti bahwa hal tersebut adalah Haram? Tidakkah saya mengerti bahwa di dalam Islam tidak diperbolehkan bercampur baur antara wanita dan laki-laki yang bukan mahram?
Sebenarnya, Saya tidak tahu. Dibesarkan sebagai seorang Muslim di New York, Amerika Serikat, hal yang saya tahu tentang Islam hanyalah yang diajarkan secara eksplisit. Maka saya hanya tahu bahwa seorang Muslim diwajibkan untuk mendirikan shalat lima kali sehari. Saya tahu bahwa kita berpuasa di bulan Ramadan. Saya tahu bahwa kita tidak memakan daging babi dan (yang terbuat darinya) seperti keju sandwiches atau pizza pepperoni di sekolah. Tetapi hal-hal lain yang mungkin ibu saya harapkan seharusnya diketahui oleh akal sehat, tidak ada.
Apa yang salah dengan memiliki seorang teman laki-laki? Ia bukan pacar, ia hanya seorang teman. Mengapa itu salah? Saya tumbuh di lingkungan dimana para guru mengatur tempat duduk, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan per meja.
Ketika kami mendapatkan tugas kelompok, kelompok ditentukan selalu dicampur antara laki-laki dan perempuan. Setelah itu, dalam kerja kelompok, tidak ada pemisah, laki-laki dan perempuan harus belajar bekerja bersama-sama.
Mereka harus bekerjasama dan bersaing, dan sebagai seorang perempuan, ada juga pesan “Jangan biarkan anak laki-laki lebih pintar daripada kalian, kalian harus maju.”
Lalu ketika ibu saya merasa terkejut atas permintaan saya untuk menghadiri pesta (yang diundang teman laki-laki), saya tidak mengerti. Selama hari-hari sekolah, saya berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk memahamkan kepada dunia yang tidak menginginkan diri saya. Saya tidak pernah merasa cukup seperti saya seharusnya, dan saya pikir bahwa jika saya dapat melakukan apa yang anak-anak lain lakukan (anak-anak Barat –red), bertingkah seperti tingkah mereka, berbicara seperti bicara mereka, mereka akan menerima saya seperti saya adalah milik mereka.
Mengenai Ibu saya, pertanyaan itu mewakili semua ketakutannya sejak ia tiba di Amerika bertahun-tahun sebelumnya (dari Mesir), “Bagaimana aku akan membesarkan anak-anakku di negara ini?”. Ibu saya berpikir bahwa ia dapat memerangi efek buruk dalam membesarkan kami di Amerika dengan menjadi sangat ketat. Kami tidak diizinkan untuk pergi keluar dengan teman-teman, kami tidak diizinkan untuk berbicara berlama-lama di telepon, kami tidak diizinkan untuk menonton film di bioskop.
Ibu memaksa saya dan kakak perempuan saya untuk menggunakan Hijab, meskipun kritikan yang “bermaksud baik” dari orang-orang Muslim di komunitas kami. Singkatnya, ibu berusaha untuk membatasi hubungan kami dengan dunia luar sebisa mungkin. Selain dari sekolah, ibu juga tidak ingin kami melakukan apapun dengan masyarakat. Semua itu baik dan bagus ketika saya masih anak-anak. Tetapi ketika saya beranjak menjadi remaja, saya tidak lagi dapat menerima ini. Saya ingin bersenang-senang. Saya ingin pergi ke luar bersama teman-teman. Saya tidak ingin berpakaian berbeda dengan teman-teman saya. Saya ingin hidup seperti hidup remaja-remaja Amerika. Jika orangtua saya tidak mengizinkan saya untuk melakukan apa yang saya inginkan, baiklah, apa yang mereka tidak ketahui tidak akan menyakiti mereka.
Untungnya, sebelum hal-hal tersebut saya lakukan, kakak perempuan saya mulai berubah ke arah agama. Ia mulai mengenakan Hijab dengan baik dan mulai membeli buku-buku Islam. Kakak saya itu memiliki pengaruh besar pada saat itu, dan ia ingin mendorong saya untuk membaca buku-buku Islam tersebut.
Segera, saya memulai untuk mengikutinya dan berpakaian seperti seorang Muslim. Segera saya mulai untuk merasakan cinta dan takut kepada Allah. Selama waktu ini, sebuah sekolah Islam untuk anak-anak dibuka di Brooklyn, New York, dan se kelompok Ulama Islam dari Mesir datang dan mengadakan seminar tentang Islam.
Suasana yang belum saya alami sebelumnya. Orang-orang Muslim yang menjual barang-barang di pasar, ketika saya hendak membayar, penjaga Toko berkata kepada saya, “pergi dan letakkan uangnya disana.” Ada kepercayaan dan cinta yang banyak disana dan untuk pertama kalinya di dalam hidup saya, saya merasa sangat nyaman sepenuhnya.
Saya ingin membawa rasa itu ke dalam diri saya. Saya memutuskan untuk berpakaian seperti layaknya seorang Muslim. Saya meninggalkan gaya hijab yang memakai bandana dengan kaos dan celana jeans untuk memakai kerudung panjang dengan rok panjang. Saya mulai haus untuk mengisi tujuan keberadaan saya, yang mana untuk beribadah kepada Allah di setiap tindakan yang dilakukan setiap hari-hari saya. Karena saya merasa diri saya lebih dekat dengan Allah, saya merasa menjadi lebih dan lebih jauh dari siapapun dan apapun akan dijalani untuk mendapatkan hubungan istimewa saya dengan Pencipta Saya.
Kemudian saya mulai memikirkan pernikahan (saat sudah dewasa) dan kehidupan saya di masa depan. (Setelah menikah dan mempunyai anak) saya mulai bertanya kepada diri saya pertanyaan yang sama yang pernah ibu saya tanyakan pada dirinya sendiri, “Bagaimana aku akan membesarkan anak-anakku di negara ini?”, Saya merasa rindu untuk meninggalkan Amerika dan untuk tinggal di negara Islami. Banyak dari mereka “yang bermaksud baik”, orang-orang yang tumbuh disekitar saya mengatakan, “Mengapa kau ingin pergi? Lihatlah dirimu, kau berubah baik, maka anak-anakmu juga akan baik-baik saja.”
Tetapi akankah mereka?, anggap saja demi argumen bahwa saya dapat menjamin anak-anak saya akan tumbuh baik di sebuah negara seperti Amerika. Bagaimana dengan anak-anak mereka, atau cucu-cucu mereka? Apakah saya inging bertanggungjawab karena membuat keputusan untuk tetap menjaga mereka di sebuah tempat dimana Fitnah merajalela? Ya memang, ada banyak orang yang tumbuh baik di negara-negara Barat dan mereka baik-baik saja. Saya yakin, bagaimanapun, orang-orang yang baik dapat menjadi lebih baik, termasuk diri saya..
Bukan berarti tinggal di negara-negara Muslim akan menjamin anak-anak tumbuh menjadi baik, membesarkan anak membutuhkan usaha yang luar biasa dimana saja anda berada. Namun, setidaknya masyarakat akan “menawarkan semen diantara batu bata dimana saya berbaring.”
by: Halla Salem
0 komentar:
Posting Komentar